SEKILAS INFO
  • 2 tahun yang lalu / DIRGAHAYU HARI ULANG TAHUN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA KE-77 TAHUN 2022, PULIH LEBIH CEPAT BANGKIT LEBIH KUAT
  • 3 tahun yang lalu / Selamat datang di website resmi PCNU MUSI BANYUASIN ; pcnumuba.or.id
WAKTU :

SARBUMUSI (Serikat Buruh Muslimin Indonesia)

SARBUMUSI (Serikat Buruh Muslimin Indonesia)
3288 Views

SARBUMUSI (Serikat Buruh Muslimin Indonesia)

Sarbumusi lahir di Pabrik Gula Tulangan, Sidoarjo Jawa Timur pada tanggal 27 September 1955. Proses kelahiran Sarbumusi berawal dari Muktamar Partai Nahdlatul Ulama (NU) 20 di Surabaya Tahun 1954, setelah para peserta Muktamar mencari pakaian, mencari pakaian yang mengayomi . Hal itu karena banyak warga orang-orang NU yang menjadi buruh pabrik di Surabaya.

Sejak kelahirannya, Sarbumusi berhasil mendapatkan sambutan positif dari kalangan buruh. Sekalipun berafiliasi pada kelompok politik Islam, dalam perkembangannya Sarbumusi tidak saja memperjuangkan kepentingan buruh Islam. Perkembangannya yang masih pada era 60-an telah menjadikannya sebagai gerakan buruh inklusif yang tidak saja berkontribusi pada arah gerakan buruh di Indonesia, melainkan juga memainkan peran penting dalam isu-isu strategis kebangsaan. Dalam masalah keamanan misalnya, Sarbumusi bersama-sama serikat buruh lainnya seperti KBKI, SOBSI, GASBIINDO, GOSII dan SOBRI membentuk Sekretariat Bersama yang salah satunya adalah untuk merespons perebutan Irian Barat.

Sarbumusi juga tercatat sebagai salah satu gerakan buruh yang kritis terhadap pemerintahan Orde Baru yang masih tetap mempertahankan beberapa gaya Pemerintahan Orde Lama terkait dengan kebijakan perburuhan nasional seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang dilakukan oleh beberapa perusahaan milik Negara. Sarbumusi juga menjadi pengkritik berat atas beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru yang merugikan buruh seperti pelarangan pemogokan massal.

Peran Sarbumusi

Peran Sarbumusi saat itu tentu tidak bisa dipisahkan oleh haluan PBNU yang dipimpin oleh Subhan ZE. Tidak saja melakukan konsolidasi di dalam negeri melalui pengorganisiran, forum-forum perburuhan hingga aksi mogok, serta penerbitan publikasi perburuhan yang bernama “Berkala Sarbumusi”.

Tabloid Berkala Sarbumusi ini bahkan memuat banyak sekali artikel-artikel penting mengenai posisi Sarbumusi bukan saja di gerakan perburuhan nasional melainkan juga di regional dan internasional. Dalam perkembangannya, Sarbumusi tidak saja menjadi salah satu Serikat Buruh besar dan berpengaruh di Indonesia, peran politik perburuhan Sarbumusi dikancah internasional saat itu pun sangat diperhitungkan.

Kulminasinya, pada tahun 1950an Sarbumusi bersama GASBIINDO menjadi inisiator berdirinya sebuah konfederasi serikat buruh dunia yang bernama International Confederation of Free Trade Union (ICFTU) seiring dengan segregasi gerakan buruh dunia kedalam dua kelompok besar di masa perang dingin, yakni gerakan buruh yang berafiliasi ke komunis dan gerakan buruh non-komunis. Saat itu, ICFTU tercatat sebagai salah satu Konfederasi Buruh yang dominan di dunia. ICFTU inilah yang pada tahun 2006 bersama-sama dengan the World Confederation of Labour (WCL) melebur dan bertransformasi menjadi International Trade Union Confederation (ITUC). ITUC inilah yang setiap tahunnya mewakili buruh di forum tertinggi perburuhan dunia, yakni International Labour Conference yang digelar setiap bulan Juni di Genewa, Swiss.

Soal Kebijakan Unifikasi Orde Baru

Seiring dengan kebijakan unifikasi semua gerakan sosial dan politik oleh Rejim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, gerakan Sarbumusi pun dipaksa mati oleh penguasa Orde Baru. Sarbumusi menjadi kontributor yang sangat penting bagi Partai NU di Pemilu 1971, sehingga NU berhasil menjadi pesaing utama Golkar. Tidak mengherankan, Sarbumusi saja saat itu beranggotakan lebih dari 2,5 juta buruh!

Pemerintah Orde Baru pasca Pemilu 1971 langsung berbenah untuk memperkuat determinasi politiknya. Salah satunya adalah mengeluarkan tiga kebijakan di sektor perburuhan. Salah satunya adalah pemaksaan wadah tunggal bagi gerakan buruh. Kebijakan ini tentu mendapatkan pertentangan yang besar-besaran, termasuk dari Sarbumusi. Sebagai realisasi dari kebijakan tersebut, pada 20 Februari 1973 didirikan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).

12 tahun kemudian FSBI bertransformasi menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Kebijakan wadah tunggal ini sejalan dengan kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan ekonomi dan stabilitas pertumbuhan sebagai panglima. Dampaknya bisa ditebak, SPSI sebagai wadah tunggal buruh di Indonesia secara meyakinkan menunjukkan keberpihakannya kepada pemerintah dan kepentingan modal. Sampai awal 90-an, SPSI tetap dominan menjadi satu-satunya organisasi buruh yang direstui oleh pemerintah. Sisanya mati suri, bahkan banyak yang mati permanen karena sikap represif Soeharto terhadap gerakan apapun yang tidak direstui pemerintah.

Sarbumusi di Era Order Lama

Serikat Buruh yang ada pada masa pasca Revolusi Fisik dan juga periode sebelumnya terkotak-kotak mengikuti aliran politik yang berkembang. Hampir setiap partai politik pada masa 1950-1973 (Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin dan awal Orde Baru) mempunyai sayap gerakan buruhnya. Berikut ini adalah tabel serikat-serikat buruh yang ada beserta afiliasi politiknya atas 4 partai besar yang memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu 1955.

  1. Sentral Organisasi Seluruh Indonesia (SOBSI) – Partai Komunis Indonesia (PKI) – Komunis
  2. Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia Gasbiindo – Partai Masyumi – Islam
  3. Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) – Partai Nadhlatul Ulama (NU) – Islam
  4. Kesatuan Buruh Marhaen (KBM) – Partai Nasional Indonesia (PNI) – Nasionalis Netral Agama

Lahirnya Sarbumusi menunjukkan adanya apresiasi dari kalangan Nahdliyin terhadap nasib kaum buruh. Kalangan Nahdliyin yang biasa menggunakan kitab-kitab klasik Islam sebagai acuan untuk menjawab permasalahan sosial, dalam konteks perburuhan juga menggunakan argumentasi normatif keagamaan untuk menunjukkan apresiasinya terhadap persoalan perburuhan.

Hadis tentang perburuhan

Ada dua hadis Rasulullah Muhammad SAW yang berkaitan dengan masalah perburuhan. Hadis pertama berbunyi: “Bayarlah upah buruhmu sebelum keringatnya kering”. Sementara hadis kedua berbunyi: “Barangsiapa yang mempekerjakan seorang pekerja, maka beritahu berapa upah yang diperoleh si buruh”.

Berdasarkan dua hadis tersebut, maka dapat dilihat bahwa ajaran Islam sangat melindungi kepentingan kaum buruh antara lain dengan menekankan sebuah kontrak kerja (aqad) antara majikan (musta’jiir) dan buruh (ajiir) dengan hak dan dalam posisi yang setara. Kontrak kerja yang dimaksud disini adalah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) (Muhammad Hanif Dhakiri, dkk, 1999:35). Berdasarkan legitimasi keagamaan tersebut, maka kalangan Nahdliyin memandang perlu untuk mengakomodasi dan membela kepentingan kaum buruh dengan melahirkan Sarikat Buruh, Sarbumusi.

Penafsiran ini sedikit banyak bisa dimengerti, mengingat saat itu partai-partai yang seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) telah memiliki sarikat buruhnya masing-masing.

Pemimpin Sarbumusi yang pertama adalah KH. Tahir Bakri. (Tahun 1955 – 1961) beliau mendirikan Sarbumusi di Pabrik Barta, Ngagel Surabaya sebuah pabrik yang memproduksi peralatan berat (Ma’shum Saifulloh, 1998:262)

Kepemimpinan KH. Thahir Bakri

Di bawah kepemimpinan KH. Thahir Bakri, Sarbumusi yang masih berpusat di Surabaya menghadapi penentangan dari sarikat-sarikat buruh yang telah ada seperti SOBSI (PKI) dan KBMI (PNI). Hal ini disebabkan kekhawatiran dari mereka bahwa kehadiran Sarbumubi akan mengurangi kekuatan sarikat-sarikat buruh yang telah ada (Alfany, 2001:34)

Pimpinan kedua Sarbumusi adalah KH. Masykur, seorang ulama sepuh NU yang disegani. KH. Masykur memimpin Sarbumusi dari 1961 – 1968. Pada masa kepemimpinannya, Sarbumusi hijrah dari kota Surabaya ke Jakarta dan berkembang secara pesat.

Ketua Umum Sarbumusi ketiga adalah Drs.H. Soetanto Martoprasono yang terpilih pada Kongres Akbar ke III di tahun 1969. Beliau memulai aktivitasnya di Sarbumusi dengan mendirikan unit Sarbumusi di Pabrik Gula Madukismo, Bantul Yogyakarta. Ketika mendirikan Sarbumusi di Pabrik Gula Madukismo, Soetanto tidak menemui kendala yang berarti dari sesama sarikat buruh maupun dari perusahaan.

Walaupun di PG Madukismo sudah ada SOBSI dan KBMI, namun mereka tidak menghalangi secara frontal kehadiran Sarbumusi. Sementara itu pihak manajemen PG Madukismo yang merupakan Perusahan Negara (PN) yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwono IX mendukung kehadiran Sarbumusi. Hal lain disebabkan juga Soetanto berstatus sebagai pegawai negeri di Departemen Pengerahan Tenaga Rakyat (Alfany, 2001:34)

Kebangkitan Sarbumusi di Indonesia

Sesudah gerakan reformasi mahasiswa berhasil menumbangkan Presiden Soeharto pada Mei 1998, maka Sarbumusi dinyatakan bangkit dan berfungsi kembali pada 26 Juni 1998 di kediaman Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Tumbangnya rezim otoriarian Orde Baru telah menumbuhkan kembali organisasi-organisasi yang sebelumnya dimatikan oleh Soeharto, bahkan banyak tumbuh organisasi baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Sarbumusi tentu ingin memanfaatkan momentum tersebut. Ini tidak terlepas dari pemerintah pasca reformasi yang pada tahun 1998 meratifikasi Konvensi 87 ILO mengenai Kebebasan Berserikat. Kini organisasi tersebut sedang berbenah sembari berikhtiar menemukan kembali momentum kejayaannya.

Beranggotakan lebih dari 150 ribu buruh yang tersebut di 8 Federasi di 9 Provinsi dan 212 kabupaten/kota, Sarbumusi beberapa waktu lalu telah bertransformasi dari Federasi menjadi Konfederasi serikat buruh. Transormasi menjadi Konfederasi ini tentu menyertakan beberapa implikasi yang harus dijawab oleh Konfederasi Sarbumusi ke depannya.

Tantangan ke Depan

  1. Sarbumusi harus melakukan konsolidasi di basis secara terstruktur dan massif. Saat ini diperkirakan anggota Jamiyyah Nahdlatul Ulama lebih dari 60 juta jiwa. Bila 20 juta jiwa di antaranya menyandang profesi buruh, maka angka 150 ribu anggota tentu masih jauh panggang dari api. Saat ini Konfederasi Sarbumusi tersebut di 385 basis, tentu ini harus terus dikembangkan di masa-masa mendatang.
  2. Sarbumusi sebagai Konfederasi dan sekaligus sebagai perwakilan dari Indonesia yang menginisiasi berdirinya konfederasi tingkat dunia ICFTU (yang sekarang menjadi ITUC) harus segera membenahi pergaulan internasionalnya bersama gerakan buruh lainnya di dunia. Salah satunya, Sarbumusi perlu untuk mendapatkan keanggotaannya kembali di ITUC. Saat ini ada 2 konfederasi serikat buruh Indonesia yang menjadi anggota ITUC, yakni Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI). Sarbumusi harus membangun komunikasi konstruktif dengan keduanya untuk mendapatkan dukungan keanggotaan di ITUC.
  3. Sarbumusi sebagai serikat buruh berbasis NU, harus merefleksikan kepentingan persebaran profesi kaum nahdliyin. Berbeda dengan serikat buruh kebanyakan yang lebih fokus pada sekctor formal seperti pabrik dan industry, Sarbumusi hendaknya juga memberikan perhatian yang lebih kepada mereka yang berada di sector informal. Harus diakui, nahdliyin selama ini identik dengan masyarakat kelas bawah, sebagian besar mereka terlibat di informal economy. Sebagai organisasi yang anggotanya berkarakteristikkan kaum bawah, kita patut bersyukur saat ini Konfederasi Sarbumusi memiliki Federasi khusus untuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
  4. Sarbumusi harus bisa melepaskan dirinya dari kepentingan politik Parpol. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat organisasi induknya, NU, saat ini juga sudah kembali menjadi organisasi kemasyarakatan (Ormas). Berbeda dengan NU ketika Sarbumusi didirikan tahun 1955. Kita tentu gembira saat ini ada beberapa aktivis Sarbumusi yang tercatat aktif di beberapa Partai Politik, dan sebagian besar lainnya tidak partisan. Kondisi ini perlu dipertahankan.

Buruh dan Politik

Perjuangan buruh memang butuh afirmasi politik, tetapi menyalurkan kanal politik tentu tidak bisa dibatasi pada satu atau dua partai politik. Kelima, Sarbumusi perlu terus berbenah dan menguatkan kepasitas gerakannya untuk merespons perkembangan ekonomi dunia dan tata pola hubungan kerjanya. Saat ini, misalnya, bagaimana Sarbumusi perlu memberikan perhatian kepada pola kerja baru, bukan saja di dunia industri yang memiliki hubungan industrial. Kita bangga ketika Sarbumusi sebagai sebuah konfederasi baru-baru ini gagah dan istikamah dalam memperjuangkan PHK sepihak yang dilakukan oleh Cevron Indonesia yang akan mem-PKH 1.500 karyawannya.

Sarbumusi tercatat sebagai Serikat Buruh terakhir yang bertahan menolak kebijakan PHK di Chevron Riau, di saat serikat buruh lainnya di perusahaan tersebut menyerah. Tetapi, bagaiamanakah sikap Sarbumusi terhadap hubungan kerja pola kemitraan seperti di sektor transportasi (baik yang konvensional seperti taksi, maupun yang berbasis aplikasi) yang beberapa waktu lalu menimbulkan gejolak? Semoga Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) yang kebetulan sedang melaksanakan hajatan tertingginya dalam Kongres Akbar ke-V tanggal 29 April-1 Mei ini bisa menemukan jati dirinya, untuk mengembalikan kejayaan di masa lalu ketika sebelum dimatikan oleh rejim Orde Baru.

Alamat Sarbumusi

Graha Sarbumusi, Jl. Raden Saleh I No.07A, RT.2/RW.2, Kenari, Kec. Senen, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10430 Telp. 02122391833

Email Redaksi: [email protected]

DOWNLOAD AD/ ART SARBUMUSI

DOWNLOAD

Sumber: nu.or.id