SEKILAS INFO
  • 1 tahun yang lalu / DIRGAHAYU HARI ULANG TAHUN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA KE-77 TAHUN 2022, PULIH LEBIH CEPAT BANGKIT LEBIH KUAT
  • 3 tahun yang lalu / Selamat datang di website resmi PCNU MUSI BANYUASIN ; pcnumuba.or.id
WAKTU :

Tradisi Ruwahan

Terbit 6 Maret 2023 | Oleh : Admin PCNU Muba | 5290 Views | Kategori : KEISLAMAN
Tradisi Ruwahan

Bagi kebanyakan masyarakat muslim di Indonesia, khususnya di Jawa atau masyarakat muba berdarah jawa, bulan Sya’ban dipercaya sebagai bulan yang paling tepat untuk mengenang para leluhur. Pada umumnya, masyarakat mengisinya dengan berbagai ritual untuk mengenang dan mendo’akan arwah para leluhur. Mulai dari tahlilan dan sedekah kubur, membersihkan kuburan, nyekar ke makam leluhur hingga ziarah ke makam para wali. Bisa kita lihat pada setiap bulan Sya’ban, kuburan terlihat ramai pengunjung, terlebih makam para wali. Itu sebabnya, bulan Sya’ban disebut Ruwah, dan tradisi mengenang dan mendoakan leluhur itu disebut dengan Ruwahan.

Kata Ruwah sering diasosiasikan dengan kata arwah. Menurut Raden Tumenggung Tondonagaro, budayawan yang juga abdi dalem Keraton Surakarta, kata Ruwah berasal dari kata “meruhi arwah”. “Meruhi arwah” dapat diartikan dengan mengunjungi atau ziarah kepada orang tua, saudara, atau leluhur yang telah bersemayam di alam barzah. Ritual ini merupakan salah satu upaya spiritual untuk mendo’akan arwah para leluhur agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah Swt. Banyak yang percaya bahwa di bulan Sya’ban, para ahli kubur menunggu kedatangan anak cucu dan sanak saudaranya untuk mendo’akan mereka. Ziarah kubur di bulan Sya’ban juga sering dimaknai sebagai bentuk sungkeman anak cucu kepada para leluhur dan para wali sebelum mengarungi bulan Ramadhan.

Namun demikian, aktifitas Ruwahan di bulan Sya’ban hendaknya tidak hanya dimaknai sebagai ritual kirim do’a atau sungkeman kepada leluhur semata. Ruwah atau arwah yang berarti sukma sejatinya adalah simbol dari kematian dan akhirat. Oleh karenanya, bulan Sya’ban dan berbagai ritual arwah di dalamnya harus dimaknai sebagai peringatan akan kematian dan alam akhirat. Tahlilan ataupun nyekar ke makam para leluhur hendaknya tidak dipahami sebagai ritual kirim do’a semata, tetapi juga harus dipahami sebagai upaya untuk membangkitkan kesadaran pada kematian dan kehidupan setelahnya. Hal ini sebagaimana disampaikan Rasulullah Saw, bahwa substansi ziarah kubur adalah mengingatkan kematian dan akhirat.(HR. at-Turmudzi). Dengan demikian, di balik manfaat berupa mendo’akan arwah leluhur, jika kita sadari ternyata ziarah kubur dan ritual semacamnya sejatinya memberikan hikmah yang tak kalah penting, yaitu mengingatkan dan membangkitkan kesadaran diri bahwa kita semua akan kembali kepada-Nya.

Dengan menyadari akan datangnya akhir hayat itu, niscaya manusia akan selalu berusaha untuk mengisi hidupnya dengan sebaik-baiknya demi mempersiapkan bekal untuk menyongsong datangnya akhir hayat dan kehidupan akhirat. al-Ghazali mengatakan bahwa mengingat kematian yang merupakan konsekuensi dari kesadaran akan takdir Allah Swt, dapat mengobati jiwa yang sakit, menyegarkan spiritual yang letih, dan membangun kembali kekuatan batiniah yang tidak berdaya. Semakin banyak mengingat kematian akan meningkatkan ketekunan dan keikhlasan dalam melaksanakan kewajiban kepada Allah Swt.

Bahkan dewasa ini, perenungan kematian telah menjadi salah satu metode terapi yang efektif untuk kesehatan mental. Terapi ini khususnya diterapkan kepada orang-orang yang sulit meninggalkan kebiasaan buruknya. Berbagai penelitian tentang perenungan kematian, sebagaimana ditulis Fakhrurrozi dalam bukunya The Secret of Kematian, juga telah membuktikan bahwa renungan terhadap kematian secara signifikan dapat meningkatkan rasa syukur dan kepekaan dalam menghargai hidup. Ini menunjukkan bahwa mengingat kematian memiliki dampak psikologis yang sangat positif dalam upaya meningkatkan kesadaran moral dan spiritual yang sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang.  

Mengingat kematian atau dalam Islam dikenal dengan istilah dzikrul maut adalah segala aktivitas mengingat, merenung, atau menyadari adanya kematian yang pasti akan terjadi dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dalam ajaran islam, dzikrul maut termasuk salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan. Rasulullah Saw selalu mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memperbanyak mengingat kematian dan akhirat dengan bermacam cara. Ta’ziyah, ziarah kubur, bahkan, do’a yang kita baca sebelum dan sebangun dari tidur, sejatinya mengingatkan kita akan datangnya kematian.

Perenungan terhadap kematian dan akhirat menjadi salah satu bentuk persiapan mental yang efektif, dan merupakan modal yang sangat berharga sebelum kita menghadapi perang besar di bulan Ramadhan. Adanya kesadaran yang tinggi akan kematian dan akhirat, niscaya akan memompa semangat dan meningkatkan keikhlasan kita dalam beribadah. Sehingga, di bulan Ramadhan yang akan datang, kita dapat menggapai kesucian dan kemenangan yang hakiki. Wallahu A’lam bi al-Shawab

Mas Imam (Penyuluh Informasi Publik Musi Banyuasin)

SebelumnyaHarlah 1 Abad NU Sidoarjo: Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru SesudahnyaSiapakah yang layak menahkodai PCNU MUBA kedepan

Berita Lainnya

0 Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.